Oleh: Yuyun Suminah, A.Md*
Pemekaran daerah seringkali dikaitkan karena overloade penduduk di suatu daerah sehingga mengharuskan untuk memperluas atau menambah daerahnya. Sama halnya yang dilakukan oleh pemerintah Jawa Barat Ketua DPW PKB Jawa Barat Syaiful Huda meminta kepada Pemerintah Provinsi Jawa Barat, untuk memfasilitasi juga percepatan pembentukan tiga belas daerah otonomi baru menyusul Bogor Timur dan Indramayu Barat. (Pikiranrakyat.com 16/04/21)
Adapun CPDOB (calon persiapan daerah otonomi baru) diantaranya yaitu Cikampek, Cirebon, Bekasi Utara, Sukabumi Selatan, Cipanas, Garut Utara, Bandung Timur, dan Tasik Selatan.
Adanya pemekaran daerah tersebut dengan tujuan untuk pemerataan pembangunan masyarakat. Sehingga melalui percepatan pembentukan daerah otonomi baru ini diharapkan dapat mengurangi kesenjangan sosial yang terjadi sebagai akibat dari besarnya jumlah penduduk di satu daerah.
Namun, apakah DOB bisa terealisasi dengan adanya pemekaran daerah tersebut dan bisa mengatasi kesenjangan sosial? Masalah kesenjangan sosial seperti yang miskin semakin miskin dan yang kaya semakin kaya semua itu menjadi PR bersama terlebih bagi pemerintah untuk mengatasinya, karena negara yang bertanggungjawab atas kesejahteraan rakyatnya.
Untuk mengantisipasi semua itu pemerintah memgambil solusi dengan pemekaran daerah, yang disinyalir bisa mengatasi semua masalah. Kesenjangan sosial akan selalu ada di dalam sistem kapitalis karena sistem ini melahirkan manusia-manusia yang tanpa batas untuk memiliki kekayaan. Tidak ada batasan mana kekayaan milik umum yang tidak boleh dimiliki oleh individu dan mana kekayaan yang boleh dimiliki secara individu.
Sehingga kekayaan umum bisa dimiliki oleh para pemilik modal yang bisa membeli apapun walaupun itu harta milik umum (negara), maka wajar dalam sistem kapitalis kekayaan hanya dirasakan oleh segelintir orang saja.
Berbeda dengan sistem Islam, dimana sistem ini aturannya lahir dari Sang Pencipta mengatasi kesenjangan sosial bukan hanya pemekaran wilayah saja namun dibarengi dengan memperbaiki dan mempermudah fasilitas yang dibutuhkan rakyat, baik pendidikannya, kesehatan, ekonomi dan lain-lain.
Islam punya cara untuk mengatasi kesenjangan sosial yaitu dengan mengembalikan peran negara sesuai syariat Islam. Yaitu bertanggungjawab untuk mencukupi segala kebutuhan rakyat baik kebutuhan primer, tersier dan sekunder.
Pengelolaan kepemilikan harta pun tak lepas dari aturan negara. Dalam sistem Islam ada 3 aspek kepemilikan yaitu kepemilikan umum, individu dan negara. Kepemilikan umum yaitu harta yang bisa dirasakan oleh seluruh rakyat baik muslim maupun nonmuslim seperti sumber daya alam, barang tambang, hasil dari daratan, lautan dan lain-lain. Tuk pengelolaannya harus oleh negara langsung.
Adapun kepemililan individu yaitu diperbolehkannya seseorang mencari harta untuk mencukupi kebutuhan selama syariat membolehkan. Sedangkan kepemilikan negara yaitu harta yang hanya boleh dimiliki oleh negara bukan oleh swasta. Ketika pengaturan kepemilikan itu sudah sesuai dengan syariat Islam maka distribusi kebutuhan pun akan merata.
Daerah yang pasokannya melimpah akan didistribukan kepada daerah yang tidak cukup, intinya semua daerah akan saling mencukupi satu daerah dengan daerah lainnya. Maka otonomi daerah dalam sistem Islam tidak diperlukan.
Pengaturan itu semua sudah terbukti dalam sejarah bahwa sistem Islam dalam kontitusi khilafah mampu mengatasi kesenjangan sosial. Karena pengaturan ekonominya berbasis baitulmal dimana segala sumber pemasukannya hanya yang diperbolehkan oleh hukum syara.
Maka sudah saatnya kita bercermin kepada sejarah untuk mengatasi masalah kesenjangan sosial ketika aturan Islam diterapkan dalam bernegara.
“Imam/ khalifah/ kepala negara adalah pengurus rakyat dan dia akan dimintai pertanggungjawaban atas pengurusan rakyatnya).” (HR al-Bukhari)
*Seorang Guru di Karawang