Oleh Ayid Suyitno PS
ADA yang berpendapat bahwa sastra koran (media massa) adalah sastra picisan (rendah). Karena ekspresi-ekspresinya hanya sebatas hasil dari selera redaksi yang belum pasti punya daya baca sastra yang luas. Sastra yang dimuat di media massa adalah sebuah iklan eksistensi pengarang bukan iklan eksistensi karya. Karena kualitas itu dari redaksi bukan dari pengarangnya sendiri.
Adalah gegabah dan juga nyeleneh jika dikatakan sastra koran itu picisan semata selera dari redakturnya. Selama ini, meski di zaman ini proses kreatif menulis telah mengenal dunia maya, tetap saja sastra koran dianggap satu-satunya ‘penjaga gawang’ yang paling sahih untuk menentukan kualitas dari karya yang kita buat. Maka, berebutan lah para pengarang (novelis, cerpenis, penyair, dan eseis) agar karya mereka dapat dimuat di tiap minggunya.
Penyair semacam Ahmadun Y. Herfanda, yang lama menjadi Redaktur Sastra di koran Republika tahu persis betapa setiap minggu ia harus menyeleksi karya kiriman yang tersebar dari seluruh penjuru Indonesia, bahkan negeri tetangga seperti Malaysia.
Di saat pengiriman masih memakai pos, saya lihat sendiri betapa lemari yang khusus diperuntukkan untuk pengiriman naskah-naskah itu penuh, bahkan tercecer di samping kanan dan kirinya. Jumlahnya ratusan, padahal yang dimuat hanya tiga item: cerpen, puisi, dan esei.
Di saat pengiriman melalui e-mail alias surat elektronik, tentu saja yang penuh sesak adalah isi nama e-mail-nya. Saya tahu persis pula ia menyeleksi karya-karya yang datang dengan kriteria yang dimiliki — setidaknya sesuai kebijakan redaksi koran tersebut. Percayalah, tidak sembarang karya dapat dimuat.
Susahnya dimuat pada koran, seperti pengalaman banyak orang, juga merupakan bukti lain redaktur tidak asal muat. Bagaimanapun tipisnya itu selera pasti jauh lebih baik dari mereka yang tidak berkecimpung dalam dunia keredaksian tersebut.
Banyak orang juga tetap percaya, sastra koran (baca pemuatan karya sastra kita di koran) menjadi tolok ukur kemampuan seseorang dalam berkarya. Pada gilirannya, melambungkan nama seseorang dalam kaitannya dengan popularitas.
Para penyair yang berkiprah pada era 1980an menyadari benar arti penting sastra koran. Forum-forum yang mengemuka pada masa itu dari Penyair Muda di Depan Forum (1975), Forum Penyair Jakarta (1981), Puisi Indonesia (1983), Puisi Indonesia (1987), dan Mimbar Penyair Abad 21 (1996), nyaris para pesertanya diambil dari mereka yang aktif menulis di koran.