Stunting dan Kehadiran Negara

Tuntutan zaman menyebabkan persaingan akan semakin ketat dan kompleks, keberadaan generasi yang berkualitas dan memiliki daya saing tinggi sudah menjadi keharusan yang tidak dapat ditawar lagi. Dengan demikian setiap bangsa sudah harus sedini mungkin mempersiapkan generasi – generasi unggul dalam menjawab tuntutan zaman.

Kehadiran Negara

Negara memiliki tanggung jawab konstitusional untuk memastikan bahwa setiap warganya harus mendapatkan keadilan dan pemerataan pembangunan. Stunting, gizi buruk dan kemiskinan adalah tanggung jawab negara, dan negara semestinya hadir untuk memberikan solusi.

Stunting dan kemiskinan di NTT adalah persoalan klasik yang dari tahun ke tahun belum berhasil dituntaskan. Stunting merupakan akibat dari permasalahan kemiskinan, dan kemiskinan merupakan akibat dari pembangunan ekonomi yang belum merata.

Memasuki usia yang tidak lagi muda, harusnya bangsa ini sudah tidak lagi terbelenggu oleh persoalan mendasar, seperti: gizi buruk dan stunting. Harusnya para pemimpin bangsa ini merasa bersalah dan berempati karena masih banyak rakyatnya yang lapar, kekurangan makan, dan mengalami gizi buruk.

Para pemimpin bangsa ini wajib bertanggung jawab dan jangan mengingkari amanah konsistusi. Para pemimpin bangsa dimulai dari presiden, gubernur dan bupati harus memiliki program yang jelas/ terukur dalam menyelesaikan persoalan gizi buruk dan stunting di NTT, hal ini merupakan persoalan serius karena akan berakibat fatal terhadap kualitas generasi penerus bangsa di masa yang akan datang.

Makna Kemerdekaan Yang Memerdekakan

Perayaan HUT Kemerdekaan RI tahun ini semestinya tidak hanya dimaknai secara konseptual, namun kemerdekaan sesungguhnya harus juga dimaknai secara kontekstual dalam kehidupan bernegara. Secara legal-formal atau politis yuridis bangsa ini memang sudah merdeka, bahwa Indonesia telah terbebas dan merdeka dari pengaruh kolonialisme dan imperialisme. Namun, tinjauan kita pada aspek kultural, sosiologis dan ekonomis sepertinya belum optimal.

Sebagaimana yang disampaikan oleh Gatut Priyowidodo (2014) bahwa kemerdekaan adalah fitrah manusia dimanapun dan kapanpun. Bahwa masih ada individu/rakyat yang belum merdeka sama halnya dengan dehumanisasi kemerdekaan itu sendiri. Benarkah kemerdekaan itu telah dirasakan sebagai sebuah kesaksian individual? Jawabannya pasti beragam.

Stratifikasi bahkan segresi sosial turut pula menciptakan suasana merasakan kemerdekaan itu berbeda – beda pula. Bagi mereka yang banyak memperoleh previlise, maka suasana merdeka itu adalah realitas empirik. Sementara, bagi mereka yang masih terus bergulat dengan kemiskinan dan ketidakpastian hidup, merdeka adalah cita-cita maha panjang dalam rute perjalanan nan terjal.

Pada akhirnya kita semua beharap bahwa perayaan HUT kemerekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang ke 77 dapat menjadi momentum refleksi dan introspeksi tentang peran berbagai pihak dalam mencari solusi atas berbagai persoalan yang dihadapi masyarakat saat ini. Stunting, gizi buruk dan kemiskinan di NTT merupakan beban bersama.

Dengan demikian, penyelesaiannya bukan semata-mata tugas pemerintah, kerjasama lintas sektoral menjadi penting dalam menstimulus percepatan pembangunan. Harapan bersama, kiranya cita – cita bangsa sebagaimana yang tertuang dalam Pembukaan UUD 1945 dapat diwujudkan.

*Pemerhati Sosial tinggal di Depok

Catatan Redaksi: Apabila ada pihak yang merasa dirugikan atau keberatan dengan penayangan artikel dan/atau berita tersebut di atas, silahkan mengirim sanggahan dan/atau koreksi kepada Kami sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (11) dan (12) UU Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers melalui email: faktualnewsred@gmail.com