Di Jakarta, pernah ada koran yang namanya Berita Buana (kini almarhum). Di era 80an itu, para penulis memang berlomba-lomba untuk bisa dimuat di koran tersebut yang diredakturi (redaktur tamu) Abdul Hadi WM, penyair dan profesor sastra yang dosen Universitas Paramadina.
Tak heran jika ada bisik-bisik dari para penggiat sastra berusia muda — saat itu — bahwa dimuat di BB adalah pemtahbisan diri kita jadi penulis sastra. Produk dari masa ini banyak dan sampai kini terus berkiprah di jagat sastra Indonesia seperti Isbedy Stiawan ZS, Nirwan Dewanto (Bandung), dan Acep Zamzan Noor (Tasikmalaya).
Indonesia pernah memiliki penghargaan bernama Anugerah Sastra Pena Kencana. Penghargaan ini menyediakan hadiah uang untuk puisi dan cerita pendek (cerpen) terbaik yang terbit di media cetak.
Sebanyak 20 cerpen terbaik Indonesia dan 100 puisi terbaik Indonesia adalah cerpen-cerpen dan puisi-puisi yang dimuat di koran Kompas, Suara Pembaruan, Koran Tempo, Media Indonesia, Republika, Suara Merdeka, Jawa Pos, Lampung Pos, Bali Pos, Pontianak Pos, dan Pikiran Rakyat.
Menurut Triyanto Triwikromo yang direktur program anugerah ini, tak bisa dimungkiri betapa sastra hari ini adalah sastra koran. Sedangkan sastrawan yang pemimpin redaksi Horison (kini, majalahnya sudah almarhum), Jamal D. Rahman, mengatakan kini koran menjadi kiblat sastra. Cuma yang menjadi masalah sastrawan adalah keterbatasan halaman koran.
Bahwa saat ini berkembang fakta bahwa sastra cyber, sastra facebook, sastra twitter — sekadar menyebut nama era digital dan komputer di saat ini — demikian menyeruak. Sastra koran tetap mendapat tempat.
Banyak penulis yang berangkat dari sastra koran menjadi pengarang populer dan dikagumi. Jadi, sastra koran bukan sastra picisan dan kehadirannya tak bisa diabaikan. Itu sejarah.***
*Ayid Suyitno PS, penyair Alumni Puisi Indonesia ’87.