Padahal, secara substansi, Publisher Rights yang dimaksud, kurang-lebih serupa. Perpres Publisher Rights Indonesia terdiri dari 19 pasal yang mengatur ketentuan umum, perusahaan platform digital, kerja sama perusahaan platform digital dengan perusahaan pers, komite, pendanaan, dan ketentuan penutup.
Aturan tentang kerja sama platform digital dan perusahaan pers, dibahas dalam Pasal 7 ayat (2). Intinya, kerja sama antara platform digital dan perusahaan pers dalam pasal tersebut berupa lisensi berbayar, bagi hasil, berbagi data agregat pengguna berita, dan/atau bentuk lain yang disepakati.
Mengapa Ada Dewan Pers
Perpres Nomor 32 Tahun 2024 itu memberi wewenang kepada komite yang terdiri dari Dewan Pers, akademisi, dan pemerintah, untuk memutuskan konten yang bisa dipublikasikan dalam platform-platform online, dalam konteks memastikan kualitas jurnalisme.
Kita tahu, perubahan fundamental Dewan Pers terjadi pada tahun 1999, seiring dengan terjadinya pergantian kekuasaan dari Orde Baru ke Orde Reformasi. Fungsi Dewan Pers Independen, tidak lagi menjadi penasehat pemerintah tapi pelindung kemerdekaan pers. Hubungan struktural antara Dewan Pers dengan pemerintah diputus.
Michaela Browning dari Google menyebut, Perpres Nomor 32 Tahun 2024 dapat membatasi keberagaman sumber berita bagi publik. Karena, regulasi itu memberikan kekuasaan kepada sebuah lembaga non-pemerintah untuk menentukan konten apa yang boleh muncul online dan penerbit berita mana yang boleh meraih penghasilan dari iklan.
Agaknya, Michaela Browning menyoroti peran Dewan Pers sebagai lembaga non-pemerintah di Perpres Nomor 32 Tahun 2024. Ahli Hukum Pers Kamsul Hasan, juga menyoroti hal tersebut. “Seharusnya, Pasal 6 yang tiba-tiba memunculkan Dewan Pers, tidak perlu ada di Perpres tersebut. Karena, di pasal-pasal sebelumnya, Dewan Pers sama sekali tidak pernah disebut,” ujar Kamsul Hasan, S.H.,M.H.
Dengan adanya Dewan Pers, regulasi itu merembet ke kategori media yang sudah terverifikasi faktual dan media yang belum terverifikasi faktual. Padahal, dalam Undang-Undang Pers, tidak dikenal istilah terverifikasi faktual. Dengan kata lain, masih cukup panjang perjalanan yang harus ditempuh, untuk mengeksekusi Perpres Publisher Rights tersebut.
Dalam diskusi dengan Ahli Hukum Pers Kamsul Hasan pada Jumat, 8 Maret 2024 lalu, ia menduga akan ada pihak-pihak tertentu yang akan mengajukan judicial review terhadap regulasi yang dimaksud. Baik secara formil maupun secara materil.
Di sisi lain, hal itu akan membuka celah baru secara hukum, hingga terbuka peluang bagi pihak Platform Digital Global untuk mengulur-ulur waktu. Bahkan, bukan tidak mungkin, masalah internal di Pers Indonesia tersebut, menjadi perseteruan yang berlarut-larut, sebagaimana yang terjadi di negara-negara lain.
Jakarta, 15 Maret 2024.
LIHAT VIDEO
https://youtu.be/3TUvPosjwRo?si=hduLARtS_wCp1VtI