“Seperti di Bangladesh tindakan terhadap kegiatan terorisme ini ditangani Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT)” ujarnya.
Namun demikian untuk program deradikalisasi, sejalan dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 tentang Terorisme, pemerintah Indonesia telah menerapkan empat tahap, yaitu identifikasi dan asesmen, rehabilitasi, pendidikan ulang, dan reintegrasi sosial.
Deradikalisasi di dalam Lapas/Rutan dilakukan melalui kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan nasionalisme, religiusitas, dan kewirausahaan.
“Hingga tahun 2022, terdapat 1.192 mantan narapidana teroris yang telah mengikuti program deradikalisasi di Indonesia.” ungkap Debbiw
Setelah dibebaskan, para mantan tahanan teroris sering menghadapi beberapa tantangan seperti stigma dari masyarakat serta masalah ekonomi, psikososial, dan administratif (memiliki KTP baru, dll).
Hal-hal tersebut terkadang menyebabkan para mantan tahanan teroris terlibat kembali dengan kelompok-kelompok ekstremis.
“Hingga saat ini, dari 1.036 mantan tahanan teroris, sekitar 116 orang terlibat dalam residivisme.” tegasnya.
Dosen Program Magister Studi Islam Universitas Muhammadiyah Jakarta Hilali Basya Ph.D memberikan contoh kelompok radikal tetapi tidak sampai ekstrem di Jakarta melalui risetnya Komunitas Muda Betawi yang terlibat dalam Front Pembela Islam (FPI) di Jakarta.
Dari hasil risetnya tampak bahwa ketegangan di tingkat politik nasional pada Pemilu 2014 yang membuat masyarakat terpolarisasi telah mendorong para pemuda Betawi ini untuk terlibat dalam organisasi yang menghubungkan mereka dengan kelompok-kelompok Islam yang lebih luas.
“Dalam hal ini, FPI menjadi pilihan mereka.” katanya.
Menurut Doktor lulusan University of Leeds, Inggris ini, modal budaya yang mereka miliki lebih mendukung mereka untuk terlibat dengan FPI, organisasi Islam yang mengkampanyekan modernisasi Islam seperti Muhammadiyah atau menyerukan pemurnian seperti gerakan Salafi tidak menarik bagi kaum muda Betawi ini.
“Melalui keterlibatan ini, mereka tidak hanya terlibat dalam isu-isu nasional, tetapi juga isu-isu lokal yang berhubungan dengan dominasi mereka sebagai kelompok pribumi yang tinggal di daerah perkotaan.” tandas Hilali Basya.
Seminar intenasional yang diselenggarakan kerjasama Laboratory of Indonesian and Global Studies (LIGS), Program Studi Ilmu Politik dan Program Magister Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Jakarta serta didukung University of Dhaka, Bangladesh dengan kehadiran Prof Ali Ashraf dihadiri di ruang zoom menyentuh angka 70 orang peserta.